Kamis, 31 Oktober 2013

Peran IQ, EQ, AQ, dan SQ Dalam Belajar

1. IQ (Intellegence Qoutient)
Kecerdasan intelektual adalah syarat minimum kompetensi diartikan sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Marthen Pali, 1993).
Konsep intelegensi yang pertama kali dirintis oleh Alfred Binet (1964), mempercayai bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal dan dapat diukur dalam suatu satuan angka yaitu intelengence qoutient (IQ).
Ini berdasarkan penelitian terbaru terungkap adanya multiple intellegence (kecerdasan majemuk) Gardner (1994) menemukan dalam setiap anak tersimpan 8 kecerdasan yang siap berkembang, yaitu:
1.     Kecerdasan Linguistik (Word Smart : cerdas berbahasa)
2.     Kecerdasan Matematik-Logis (Number Smart : cerdas angka)
3.     Kecerdasan Spasial (cerdas gambar)
4.     Kecerdasan Kinestetik- Jasmaniah (Body Smart : cerdas tubuh)
5.     Kecerdasan Musikal (cerdas musik – nada suara)
6.     Kecerdasan Interpersonal ( Self Smart : cerdas diri)
7.     Kecerdasan Intrapersonal (People Smart ; cerdas bergaul)
8.     Kecerdasan Naturalis (cerdas alam)
Yang menggembirakan dari paradigma baru tentang intelegensi ini adalah pandangan bahwa TIDAK ADA SISWA YANG BODOH, setiap anak pasti punya kecerdasan yang menonjol satu atau dua jenis dan siap berprestasi.
2. EQ (Emotional Qoutient)
Penelitian mutakhir menjelaskan bahwa IQ belumlah cukup. IQ hanya menyumbangkan 20% dari keberhasilan, yang lebih banyak perannya dalam keberhasilan seseorang adalah EQ (kecerdasan emosional).
Apakah kecerdasan emosional itu?
EQ adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik dan dalam berhubungan dengan orang lain.
Jelaslah EQ sangat besar peranannya untuk meraih kesuksesan termasuk sukses dibangku sekolah.
Daniel Goldman mengembangkan EQ menjadi 5 kategori dengan poin-poin:
  1. Kesadaran diri; kecerdasan emosi diri menilai pribadi dan percaya diri.
  2. Pengaturan diri; pengendalian diri, sikap dapat dipercaya, waspada,adaftif dan inovatif.
  3. Motivasi; dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme.
  4. Empati; memahami orang lain, pelayanan, membantu pengembangan orang lain, menyikapi perbedaan dan kesadaran politis.
  5. Keterampilan sosial; pengaruh keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, manajemen konflik, keakraban, kerjasama dan kerja tim.

3.   AQ (Adversity Qoutient)
Mengapa banyak orang yang jelas-kelas cerdas/berbakat tetapi gagal membuktikan potensi dirinya?
Berapa banyak siswa yang memiliki IQ tinggi tetapi gagal dalam meraih prestasi belajar? Sebaliknya tidak sedikit orang yang memiliki IQ rendah tetapi justru lebih unggul dalam prestasi belajar. Pada umumnya ketika dihadapkan pada kesultian dan tantangan hidup kebanyakan manusia menjadi loyo dan tidak berdaya, mereka berhenti berusaha sebelum tenaga dan kemampuannya benar-benar teruji. Banyak orang yang gampang menyerah sebelum berperang, mereka inilah yang dimaksudkan dengan rendah Adversty Qoutientnya.
Adversty Qoutientnya (AQ) adalah kemampuan atau kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup.
Paul G. Stoltz adalah penemu teori AQ, berdasarkan penelitiannya ada tingkatan AQ pada manusia, yaitu:
1.     Tingkat “Quitters” (orang-orang yang berhenti)
Quitters adalah orang yang paling lemah AQnya.
Ketika menghadapi kesulitan hidup, mereka berhenti dan langsung menyerah. Mereka memilih untuk tidak mendaki, mereka keluar, mundur dan menghindar dari kewajiban/tugas-tugas hidup. Mereka tidak memanfaatkan peluang, potensi dan kesempatan dalam hidup.
Contoh: seorang individu yang tidak berkutik, hanya mengeluh ketika ditimpa kondisi buruk seperti penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dll.
2.     Tingkat “Campers” (orang yang berkemah)
Campers adalah AQ tingkat sedang.
Awalnya mereka giat mendaki, berjuang menyelesaikan tantangan hidup, namun di tengah perjalanan mereka berhenti juga. Mereka telah jenuh dan bosan, merasa sudah cukup, mengakhiri pendakian dengan mencari tempat yang datar dan nyaman.
Contoh: seorang yang mengira bahwa sukses itu adalah yang penting sudah naik kelas/lulus, meskipun pas-pasan saja. Sudah punya harta/jabatan bagus sudah cukup, sukses di dunia sudah cukup!.
3.     Tingkat “Climbers” (orang yang mendaki)
Climbers adalah pendaki sejati.
Orang yang seumur hidup mencurahkan diri kepada pendakian hidup. Mereka paham dan sadar bahwa sukses itu bukan hanya dimensi fisik material, tetapi seluruh dimensi fisik, moral, sosial, spiritual, dstnya.
Mereka adalah orang yang selalu mencari hakikat hidup, hakikat manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dan akan kembali kepada Sang Maha Pencipta. Mendaki hidup abadi yang jauh lebih panjang.
4.   SQ (Spritual Qoutient)
Hasil penelitian di ratusan perusahaan dan kalangan eksekutif bisnis dunia menunjukkan bahwa spirit itu sungguh penting.Spirit menjadi salah satu faktor penentu sukses. Salah satu contoh spirit mereka adalah keyakinan bahwa bisnis itu bermakna besar bagi diri, keluarga dan masa depan umat manusia. Sebaliknya keringnya spirit akan meruntuhkan seseorang atau perusahaan.
Spiritual adalah inti dan pusat diri sendiri.
Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, melambungkan semangat dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu (Agus Nggermanto, 2001)
Lalu M. Zuhri menambahkan bahwa SQ merupakan kecerdasan yang digunakan untuk ‘berhubungan’ dengan Tuhan Sang Maha Kuasa.
Ciri-ciri SQ tinggi;
Menurut Dimitri Mahayana, ciri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah:
1.     Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
Prinsipadalah suatu kebenaran yang hakiki dan fundamental, berlaku secara universal bagi seluruh umat.
Prinsip merupakan pedoman berperilaku, yang berupa nilai-nilai yang permanen dan mendasar.
Ada 3 prinsip utama bagi orang yang tinggi spiritualnya, yaitu;
a.    Prinsip kebenaran
Suatu yang paling nyata dalam kehidupan ini adalah kebenaran. Sesuatu yang tidak benar, tunggulah saatnya nanti pasti akan sirna.
Contoh: Hukum alamiah, jika kita menyemai benih pada tempat yang salah, waktunya tidak tepat,pengairannya keliru, pemupukannya salah, maka apa yang terjadi? Benih membusuk dan sirna.
Pelanggaran atas nilai kebenaran membuat kita kehilangan jati diri dan hati nurani yang tidak jernih.
b.    Prinsip keadilan
Keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dengan hak yang seharusnya diterima, tidak mengabaikan, tidak mengurang-ngurangi.
c.     Prinsip kebaikan
Kebaikan adalah memberikan sesuatu lebih  dari hak yang seharusnya.
Contoh: ketika kita naik becak membayar Rp. 5.000,- sesuai kesepakatan, tetapi kita lebihkan membayar Rp. 6.000,- inilah yang disebut kebaikan.
Visi yang kuat
Setelah prinsip, kita harus mempunyai visi.
Visi adalah cara pandang, bagaimana memandang sesuatu dengan visi yang benar. Dengan visi kita bisa melihat bagaimana sesuatu dengan apa adanya, jernih dari sumber cahaya kebenaran.
Contoh; Belajat itu tidak sekedar mencari angka raport, ijazah atau bisa mencari kerja yang bergaji pantas.
2.     Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
Para siswa menuntut suasana belajar yang menyenangkan. Guru menginginkan semangat dan hasil belajar yang optimal. Semua pihak berbeda tetapi sama-sama menginginkan kebaikan.
3.     Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
Semua yang terjadi di alam raya ini ada maknanya.Semua kejadian pada diri kita dan lingkungan ada hikmahnya, semua yang diciptakan ada tujuannya.
Dalam sakit, gagal, jatuh, kekurangan dan penderitaan lainnya banyak pelajaran yang mempertajam kecerdasan spiritual kita. Demikian juga ketika berhasil, kita bersyukur dan tidak lupa diri.
4.     Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
Sejarah telah membuktikan, semua orang besar atau sukses telah melewati liku-liku dan ujian yang besar juga.
Contoh: Thomas Edison menjadi sukses dan cemerlang dengan berbagai temuannya setelah melalui caci maki dan kegagalan-kegagalan.
J. J. Rouseu menjelaskan; jika tubuh banyak berada dalam kemudahan dan kesenangan, maka aspek jiwa akan rusak. Orang yang tidak pernah mengalami kesulitan atau sakit, jiwanya tidak pernah tersentuh.
Penderitaan dan kesulitanlah yang menumbuhkan dan mengembangkan dimensi spiritual seseorang.


Sumber : http://dedyfahroni.blogspot.no/2013/01/peran-iq-eq-aq-dan-sq-dalam-belajar.html